Al-Jarah Wa Al-Ta’dil

Ilmu al-Jarah Wa al-Ta’dil

1. Pengertian Ilmu al-jarah Wa al-Ta’dil.

a. Al-Jarh

Menurut etimologi al-jarh berasal dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka atau menolak, sedangkan secara terminologi al-jarh berarti terlihatnya karakter perawi yang berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat adil dan lemahnya hafalan rawi, yang berakibat cacatnya hadits yang ia riwayatkan.

b. Al-Ta’dil

Al-‘adl (adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan al-‘adl secara terminology adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu makna dari istilah al-ta’dil sendiri adalah pengakuan terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan rawi dari sisi diterima atau ditolak periwayatannya.

2. Kaidah Penerapan al-Jarah Wa al-Ta’dil.

Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para perawi hadits. Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari perawi hadits, yaitu:

a. Al-amanah wa al-nazahah; dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.

b. Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.

c. Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta’dil –dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.

d. Al-ijmal fi al-Ta’dil wa Tafsil fi al-tarjih; dalam artian, mereka -ulama jarh wa ta’dil– selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya.

3. Sighat al-Jarh dan Implikasinya Terhadap Eksisitensi Hadits

a. Lafadz yang menunjukkan kelemahan (تليين), ini adalah tingkatan jarh yang teringan, semisal: فلان لين الحديث(si fulan adalah orang yang lemah dalam bidang hadits), فى حديثه ضعف (dalam haditsnya terdapat kelemahan).

b. Lafadz yang diuraikan dengan tanpa dalih atau yang menyerupainya, semisal: rawi adalah orang yang lemah (فلان واه), para ahli hadits menganggapnya sebagai seorang yang lemah (ضعفوه).

c. Lafadz yang diuraikan dengan tanpa adanya teks hadits yang telah ia riwayatkan atau yang semisalnya,contohnya: si fulan tidak menuliskan haditsnya. (فلان لا يكتب حديثه), hadits yang ia riwayatkan tidaklah benar.

d. Lafadz yang menunjukkan kecurigaan terhadap adanya kemungkinan kebohongan atau semisalnya pada diri si perawi, contohnya: si fulan adalah seorang yang dicurigai telah melakukan kebohongan (فلان متهم بالكذب), ia telah mencuri hadits (يسرق الحديث).

e. lafadz yang menunjukkan perawi memiliki sifat pembohong atau semisalnya, contohnya: si fulan adalah orang yang banyak melakukan kebohongan.

f. Lafadz yang membesar-besarkan kebohongan dari perawi atau semisalnya, ini adalah tingkatan jarh yang terburuk), contohnya: si fulan adalah manusia yang paling banyak berdusta (فلان أكذب الناس).

· Catatan:

  • Pada perawi tingkatan yang pertama dan yang ke-2, hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, namun sebagai bentuk prestise, hadits yang diriwayatkan akan tetap dicatat, sekalipun perawi pada tingkatan yang ke-2 lebih rendah daripada yang pertama.
  • Sedangkan untuk 4 tingkatan terakhir (ke-3, 4, 5, dan 6), hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, tidak layak untuk dicatat, ataupun dianggap, sebab ia ataupun selainnya tidak layak untuk menguatkan hadits yang diriwayatkan.

4. Sighat al-Ta’dil dan Implikasinya Terhadap Eksisitensi Hadist

Lafadz yang menunjukkan arti sangat tsiqahnya perawi لمبالغة في التوثيق) atau dengan menggunakan wazan أفعل , dan ini merupakan tingkatan lafadz yang paling tinggi, sebagai contoh:

“saya tidak pernah tahu ia memperhatikan hal-hal yang bersifat keduniawiaan لاأعرف له نظيرا في الدنيا)) ia adalah orang yang paling terpercaya “(هو أوثق الخلق)

a. Lafadz yang ditegaskan dengan satu sifat atau lebih yang menunjukkan ketsiqahan perawi, semisal: ثقة ثقة, ثقة حافظ, ثقة مأمون.

b. Lafadz yang menunjukkan ketsiqahan perawi dengan tanpa adanya penegasan, semisal: ثقة, حجة, ثبت.

c. Lafadz yang menunjukkan ta’dil dengan tanpa adanya verifikasi (dlobth), semisal: صدوق (si fulan adalah orang yang dipercaya), لا بأس به (menurut selain daripada Ibnu ‘Ayyan).

d. Lafadz yang tidak menunjukkan pernyataan tautsiq ataupun tajrih, semisal: si fulan adalah seorang syaikh (فلان شيخ).

e. Lafadz yang lebih mengarah pada tajrih (lebih mudah untuk dibantah), semisal: si fulan adalah orang yang kapabel dalam urusan hadits (فلان صالح الحديث), haditsnya tertulis (يكتب حديثه).

· Catatan:

  • Tiga tingkatan yang pertama adalah lafadz-lafadz yang bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, sekalipun sebagian lafadz lebih kuat daripada yang lain.
  • Adapun tingkatan yang ke-4 dan yang ke-5 tidak bisa dijadikan argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap ditulis dan diuji, sekalipun perawi pada tingkatan yang ke-5 berada dibawah tingkatan ke-4.
  • Sedangkan tingkatan yang ke-6 juga tidak bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap ditulis sebagai bentuk prestise semata, dengan tanpa tes uji kesahihan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya standarisasi (kedlobitan) sebagai seorang rawi.
  • Sighat al-Jarh dan Implikasinya Terhadap Eksisitensi Hadist

Tinggalkan komentar